Senin, 14 Februari 2011

Tulisan 1

Sampai hari ini sudah lebih dari 8 bulan Indonesia mengalami krisis
ekonomi yang disebabkan oleh jatuhnya nilai rupiah Indonesia terhadap
dollar Amerika. Diatas permukaan, memang kelihatannya rakyat Indonesia
memang sangat menderita akibat krisis ekonomi ini. Dari semua bidang
mulai dari yang besar sampai yang paling kecil mengalami kemunduran.
Dengan nilai tukar mata uang yang sudah merosot sebanyak 400%, secara
teoritis perekonomian negara praktis tidak berjalan lagi. Hal ini
mungkin agak berbeda bila sebelumnya Indonesia adalah negara dimana
hiper-inflasi memang sudah terjadi dan merupakan penyakit ekonomi yang
kronis. Tetapi sebelum krisis ekonomi yang sekarang terjadi pada saat
Indonesia sedang mengalami pertumbuhan yang baik dan tingkat inflasi
dapat dikatakan terkendali; walaupun angka inflasi riil sebenarnya
adalah lebih tinggi daripada apa yang selalu diberitakan oleh
pemerintah. Hal ini sebetulnya merupakan suatu kontradiksi bila kita
lihat negara lain yang mengalami keadaan hampir serupa Indonesia
namun pada tingkat yang lebih rendah. Thailand mengalami depresiasi
Baht sebesar hampir 100%, nilai won Korea Selatan juga mengalami hal
yang hampir serupa dengan Baht Thailand. Apa yang kita lihat disana ?
Banyak perusahaan yang jatuh bangkrut, pemiliknya menjual harta benda
dan asset lainnya agar tetap dapat hidup. Penjualan barang mewah
menurun dengan tajam. Pemerintahnyapun berusaha keras dengan
sungguh-sungguh agar mereka dapat lepas dari krisis ekonomi yang
melanda negerinya.

Bagaimana dengan keadaan di Indonesia ? Semua orang mengatakan hal
yang sama, perdagangan mengalami "kemerosotan" yang tajam, banyak
perusahaan gulung tikar, terjadi PHK dan perampingan jumlah tenaga
kerja pada perusahaan yang masih dapat "berdiri" menahan badai ekonomi
ini dan yang terpenting adalah tindakan pemerintah dalam mengatasi hal
ini. Kalau dinegara lain, hilangnya kepercayaan rakyat pada pemerintah
karena masalah ekonomi ini menyebabkan jatuhnya pemerintahan seperti
yang dialami oleh Thailand dan Korea, maka di Indonesia hal itu tidak
terjadi. Walaupun suara-suara yang menyalahkan pemerintah sudah banyak
terdengar, tuntutan agar pemerintah yang berkuasa untuk turun sudah
santer, pemerintah Indonesia sepertinya tidak mendengar hal itu semua.
Apakah perekonomian di Indonesia memang sudah benar-benar mati ?
Mungkin tidak. Sebagai akibat terjadinya krisis ekonomi ini, ternyata
muncul pula banyak kesempatan untuk memperoleh keuntungan bagi
beberapa golongan/industri tertentu. Jatuhnya nilai rupiah ternyata
membawa berkah tersendiri bagi usaha-usaha yang menggunakan bahan baku
lokal. Harian Kompas hari Minggu memberitakan industri bola yang
justru mengalami kenaikan yang drastis, industri shuttle cock juga
mengalami panen, beberapa jenis industri yang tadinya tidak pernah
export sekarang justru memperoleh penghasilan dari export
barang/komoditi yang tadinya tidak pernah dilihat.

Jadi, sebenarnya bagaimanakah situasi di Indonesia yang sebenarnya ?
Dalam keadaan seperti sekarang ini kita bisa melihat bahwa strategi
kita selama 33 tahun terakhir ini bukanlah suatu strategi yang tahan
banting. Hampir seluruh industri manufaktur kita yang kebanyakan
tergantung pada bahan baku import mengalami nasib yang tidak jauh
berbeda, yaitu kebangkrutan dan kesulitan bahan baku. Sedangkan
industri yang sebagian besar bahan bakunya adalah komponen lokal,
justru mengalami kenaikan. Selama ini yang kita tawarkan pada pihak
penanam modal asing adalah keunggulan Indonesia dalam hal tenaga kerja
kita yang "murah". Sekarang ternyata terbukti bahwa keunggulan kita
dalam hal tenaga kerja bukanlah sesuatu keunggulan yang patut kita
jual. Bila memang tenaga kerja kita murah, hal itu disebabkan karena
tenaga kerja kita bukanlah tenaga kerja trampil yang bisa dipergunakan
dalam industri modern. Kebanyakan tenaga kerja kita berasal dari
keluarga petani didesa yang sudah kehilangan lahan untuk diolah.
Dengan pengalaman mereka, tentu saja tingkat produktivitas yang
dihasilkan tidak mungkin mencapai hasil yang maksimal. Sebagai
perbandingan, untuk menjalankan pabrik kaos kaki yang paling sederhana
di Indonesia sudah dibutuhkan tenaga kerja yang jumlahnya cukup
banyak. Akibatnya harga akhir produknyapun tidak akan dapat bersaing
dipasar internasional. Contoh lain, pabrik photo album di Indonesia.
Untuk menjalan mesin pembuat photo album di Indonesia diperlukan 4
orang tenaga kerja; di Korea mesin yang sama hanya dijalankan oleh
satu orang saja. Jadi perbandingan biaya perorangan yang murah itu
tidak ada artinya lagi bila ternyata diperlukan 4 orang untuk
menggantikan 1orang di Korea.

Daya tarik urbanisasi ke Jakarta juga merupakan salah satu kesalahan
dalam perencanaan pembangunan kita yang menjadi salah satu unsur
pendorong terjadinya kehancuran ekonomi kita. Pemerintah selalu
mengutamakan pembangunan di Jakarta. Jalan raya bertingkat, jalan
toll, gedung-gedung bertingkat, super-mall yang tersebar hampir
diseluruh pelosok Jakarta, kemudahan memperoleh ijin usaha dan masih
banyak lagi lainnya yang menyebabkan Jakarta menjadi magnet yang
sangat kuat bagi penduduk diluar Jakarta untuk bermigrasi ke ibu kota.
Policy pemerintah yang memusatkan penghasilan ke pusat menyebabkan
daerah tidak dapat berkembang sesuai dengan potensial yang
dimilikinya. Padahal daya tahan suatu negara adalah tergantung pada
kekuatan didaerah dan bukannya kemegahan di ibukota yang praktis tidak
mempunyai sumber-sumber alam untuk mendukung kehidupannya.
Meningkatnya harga kebutuhan pokok merupakan suatu indikasi bahwa
kehancuran ekonomi didaerah adalah dikarenakan oleh mismanagemen; baik
berupa korupsi ataupun penyedotan asset daerah ke pusat dan distribusi
penghasilan negara yang sebagian besar dipergunakan untuk membangun
Jakarta menjadi kota metropolitan yang megah. Apa gunanya mempunyai
ibukota yang megah bila 30 km setelah kita keluar dari ibukota yang
dijumpai adalah rakyat yang melarat dan infrastruktur yang berantakan ?

Memang sangat mudah untuk melihat balik dan memberikan usulan
bagaimana sesuatu dapat dijalankan dengan lebih baik. Tetapi
sebenarnya dari sini kita dapat belajar agar kesalahan yang sama
tidak terulang lagi dimasa depan. Kita pernah mengalami kesulitan yang
hampir serupa pada waktu perrtumbuhan ekonomi kita sangat tergantung
pada ekspor minyak. Harga minyak bumi yang mendadak jatuh
menghancurkan ekonomi kita pada awal 80 an. Saat ini memang bukan
minyak, tetapi pemerintah selalu mudah terlena dan terbuai oleh
keberhasilan yang nampaknya sangat impresif. Pertumbuhan ekonomi
sebesar 6 - 7% per tahun membuat mereka menobatkan Suharto menjadi
"Bapak Pembangunan Indonesia". Kenyataan yang kita hadapi sekarang
adalah tingkat kesejahteraan Indonesia sekarang ini sudah kembali
lagi pada tingkat tahun 1970 an. Memang kita berhasil membangun gedung
60 tingkat di Jakarta, jalan toll yang mulus di Jakarta, pusat
perbelanjaan mewah di Jakarta, gedung-gedung pertemuan yang megah di
Jakarta. Tetapi perlu diperhatikan disini, semua ini hanya terjadi
di Jakarta dan daerah sekitarnya. Bagaimana dengan daerah di Jawa yang
lainnya ? Terlebih lagi bila kita lihat keadaan pertumbuhan di luar
Jawa. Memang mereka juga mengalami pertumbuhan, tetapi tidak pada
tingkat U$ 1,000 lebih seperti yang didengung-dengungkan oleh
pemerintah. GNP sebesar U$ 1,000 itu tidak mempunyai arti bagi
sebagian besar rakyat Indonesia yang pada kenyataannya memperoleh gaji
dibawah UMR sebesar Rp. 200,000. Penghasilan petani yang menjadi sapi
perahan Bulog, BPPC dan masih banyak lagi jenis monopoli lainnya itu
jelas tidak akan mencukupi untuk hidup mereka dalam keadaan ekonomi
sekarang ini. Apalagi secara teoritis dengan jatuhnya nilai rupiah,
maka GNP Indonesia sekarang ini sama dengan U$ 250 per tahun. Suatu
tingkat GNP yang sangat rendah bila dibandingkan dengan pengorbanan
yang telah kita berikan selama lebih dari 50 tahun setelah kita
"merdeka" dari penjajahan.

Lepas dari persoalan apakah rakyat kita menderita dengan GNP yang
hanya U$ 250 itu. Mungkin jawabnya adalah tidak terlalu, karena
sebagian besar memang tidak pernah merasakan bagaimana hidup dengan U$
1,000. Mereka pada dasarnya memang sudah hidup pada tingkat U$ 250
sejak tahun 1970 dan tidak pernah mengalami perbaikan nasib. Hancurnya
nilai rupiah hanya berpengaruh secara nyata pada masyarakat perkotaan
di Indonesia, dimana merekalah yang sebenarnya menikmati hasil
pertumbuhan Indonesia. Meskipun demikian, bila hal ini terus
berkepanjangan, akhirnya masyarakat pedesaan pasti merasakannya juga.
Dengan tidak adanya daya beli masyarakat perkotaan, maka hasil dari
pedesaan hanyalah dipergunakan untuk mensubsidi masyarakat perkotaan
yang pada saat ini dapat dikatakan tidak produktif. Sampai berapa lama
hal ini dapat bertahan ? Sangat sulit untuk dikatakan karena segala
sesuatu di Indonesia sangatlah tidak transparan, sehingga kita tidak
dapat mengetahui dengan jelas.

Pemberantas korupsi, nepotisme, kolusi di Indonesia hampir dapat
dikatakan mustahil. Kita memang sudah hidup berdampingan dengan segala
jenis kebobrokan pemerintahan ini sejak kita merdeka dari penjajahan
kolonialisme tahun 1945. Tetapi setelah itu kita dijajah oleh
sekelompok bangsa kita sendiri yang dengan segala cara berusaha
memperkaya diri sendiri. Segala macam korupsi, nepotisme, kolusi
adalah merupakan bagian integral dari ekonomi Indonesia. Kita lihat
saja contohnya. Beberapa tokoh angkatan 66 yang pada waktu jatuhnya
pemerintah Orde Lama berjuang bersama rakyat sekarang ini sudah
menjadi sangat kaya-raya. Apakah hasil yang mereka peroleh itu bukan
dari hasil korupsi dan kolusi. Mungkin tidak. Kita tahu semua berapa
gaji seseorang yang bekerja dengan jujur. Jumlah itu tidaklah mungkin
mencapai angka milyaran walaupun dalam waktu 30 tahun. Bagaimana
seorang yang bukan berasal dari keluarga kaya raya dapat mempunyai
mempunyai penerbitan surat kabar sendiri, pabrik kertas koran dalam
waktu hanya 15 tahun saja. Rasanya tidak mungkin, karena produk yang
dihasilkannya hanya biasa saja. Sangat berbeda dengan Bill Gates yang
menjadi orang paling kaya didunia melalui penjualan software komputer
yang secara nyata merubah cara-cara dunia bekerja.
Jadi kalaupun pemerintahan yang sekarang ini dapat ditumbangkan dan
diganti dengan orang-orang yang baru, hasilnya tidak akan berbeda jauh
pada akhirnya. Pada saat seseorang menjadi mahasiswa dia masih
mempunyai idealisme yang tinggi. Idealisme ini akan hilang dengan
sendirinya setelah dia menghadapi kenyataan bahwa tanpa kolusi dengan
pejabat atau pengusaha dia tidak akan dapat kemana-mana. Pandangan ini
memang bukan suatu pandangan yang positif, tetapi merupakan suatu
kenyataan pahit yang harus kita hadapi di Indonesia. Pemberantasan
korupsi, kolusi, nepotisme di Indonesia tidaklah mungkin dilakukan
karena hal itu sudah sangat berakar dalam masyarakat kita. Orang bisa
saja berkata bahwa pejabat yang korupsi harus diadili. Siapa dan
sampai pada tingkat mana akan kita usut korupsi ini ? Apakah sampai
pada tingkat menteri atau presiden atau hanya pada tingkat lurah dan
camat saja atau pada polisi lalu lintas yang setiap hari memungut
pajak dijalan raya dari pengguna jalan ? Pertumbuhan ekonomi
Indonesia adalah pertumbuhan ekonomi yang didasarkan pada hukum
perekonomian korupsi dan kolusi. Kalau kedua hal tersebut dihilangkan,
maka yang menderita adalah perekonomian Indonesia. Yang harus
dilakukan adalah bukannya pemberantasan korupsi secara riil, melainkan
upaya untuk mengurangi korupsi itu sendiri. Penggantian pejabat yang
korupsi belum tentu akan menghasilkan suatu pemerintahan yang bersih.
Yang penting sebenarnya bukanlah siapa yang korupsi atau siapa yang
jujur, tetapi siapa yang dapat membawa Indonesia pada tingkat
kemakmuran yang lebih tinggi.

Ada pepatah yang mengatakan "lebih baik bekerja sama dengan setan yang
telah kita kenal daripada dengan dewa yang tidak kita kenal sama
sekali". Setidaknya dengan pemerintah yang sekarang ini kita sudah
tahu sampai bagaimana mutu mereka dan kita tahu bagaimana harus
bekerja untuk mencapai hasil yang maksimal. Dengan orang-orang yang
baru, kita belum tentu lebih baik. Suharto memang bukan presiden
terbaik yang pernah kita punyai, tetapi menggantinya dengan orang
yang lain belum tentu akan memberikan hasil yang lebih baik dari
sekarang. Apalagi dalam keadaan perekonomian yang serba tidak menentu
seperti sekarang ini.

http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1998/03/08/0047.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar