Kondisi Negara Hukum Kita Dewasa Ini
Kondisi
Negara Hukum Indonesia kita dewasa ini sangat memprihatinkan. Hukum
diperlukan agar kebijakan-kebijakan kenegaraan dan pemerintahan dapat
memperoleh bentuk resmi yang bersifat mengikat dan dapat dipaksakan
berlakunya untuk umum. Karena hukum yang baik kita perlukan dalam rangka
pembuatan kebijakan (policy making) yang diperlukan merekayasa,
mendinamisasi, mendorong, dan bahkan mengarahkan guna mencapai tujuan
hidup bersama dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Di samping itu, dalam rangka
pelaksanaan kebijakan-kebijakan tersebut (policy executing),
hukum juga harus difungsikan sebagai sarana pengendali dan sebagai
sumber rujukan yang mengikat dalam menjalankan segala roda pemerintahan
dan kegiatan penyelenggaraan negara.
Namun dalam kenyataan praktik, baik dalam konteks pembuatan kebijakan (policy making) maupun dalam konteks pelaksanaan kebijakan (policy executing),
masih terlihat adanya gejala anomi dan anomali yang belum dapat
diselesaikan dengan baik selama 11 tahun pasca reformasi ini. Dari segi
sistem norma, perubahan-perubahan telah terjadi dimulai dari norma-norma
dasar dalam konstitusi negara yang mengalami perubahan mendasar. Dari
segi materinya dapat dikatakan bahwa UUD 1945 telah mengalami perubahan
300 persen dari isi aslinya sebagaimana diwarisi dari tahun 1945.
Sebagai akibat lanjutannya maka keseluruhan sistem norma hukum
sebagaimana tercermin dalam pelbagai peraturan perundang-undangan harus
pula diubah dan diperbarui.
Sebenarnya,
upaya pembaruan hukum itu sendiri tentu dapat dikatakan sudah berjalan
selama 11 tahun terakhir ini. Namun demikian, dapat dikatakan bahwa:
Pertama, perubahan-perubahan tersebut cenderung dilakukan secara cicilan
sepotong-sepotong tanpa peta jalan (road-map) yang jelas. Akibatnya,
perubahan sistem norma hukum kita selama 11 tahun masa reformasi ini
belum menghasilkan kinerja Negara Hukum yang kita diidealkan. Kedua,
pembentukan pelbagai peraturan perundang-undang baru telah sangat banyak
menghasil norma-norma hukum baru yang mengikat untuk umum. Akan tetapi
norma-norma baru itu belum secara cepat tersosialisasikan secara umum
sehingga pelaksanaannya di lapangan banyak menghadapi kendala dan
kegagalan. Sebaliknya, norma-norma hukum yang lama, sebagai akibat sudah
terbentuknya norma hukum yang baru, tentu sudah tidak lagi dijadikan
rujukan dalam praktik.
Ketiga,
di masa reformasi ini banyak sekali lembaga baru yang kita bentuk untuk
maksud yang mulia, yaitu agar kebutuhan dan kepentingan masyarakat yang
sudah berubah sebagai masyarakat demokratis dapat lebih efisien dan
efektif dilayani oleh fungsi-fungsi kekuasaan negara. Pembentukan
lembaga-lembaga baru itu dilakukan sekaligus dengan mengubah
fungsi-fungsi lembaga-lembaga yang ada sebelumnya. Akan tetapi dalam
kenyataan praktik sampai sekarang ternyata banyak sekali lembaga-lembaga
baru yang kinerjanya belum berhasil menempatkan diri secara tepat dalam
sistem kenegaraan baru berdasarkan UUD 1945, sementara lembaga-lembaga
yang lama sudah lumpuh dan tidak lagi menjalankan fungsi yang diambil
alih oleh lembaga baru. Akibatnya, timbul gejala tumpang tindih akibat
banyaknya lembaga yang menangani satu fungsi yang sama, sementara di
pihak lain banyak fungsi yang ada lembaga yang menanganinya sama sekali.
Karena itu, dapat dikatakan bahwa sesudah 11 tahun masa reformasi ini,
kita menghadapi keadaan anomi dan anomali. Keadaan anomi mencerminkan
keadaan yang seolah-olah ketiadaan norma (a-nomous), sedangkan keadaan
anomali menegaskan adanya kekacauan structural dan fungsional dalam
hubungan antara lembaga dan badan-badan penyelenggara fungsi kekuasaan
negara.
Dalam
konteks pembuatan aturan, perhatikanlah bagaimana kinerja
lembaga-lembaga legislasi dan regulasi kita, baik di tingkat pusat
maupun daerah. Kinerjanya sebagian terbesar masih belum professional dan
mengarah kepada upaya perbaikan sistem hukum kita secara keseluruhan.
Baik DPR, DPD, DPRD, biro-biro hukum pelbagai instansi pemerintahan
masih bekerja secara serabutan dantanpa arah yang jelas, melainkan hanya
berdasarkan kebutuhan dadakan dan didasarkan atas pesanan atau pun
perintah yang bersifat sesaat dan seperlunya. Demikian pula di bidang
pelaksanaan kebijakan (policy executing), yang menentukan justru adalah
atasan atau pejabat yang berwenang mengambil keputusan. Sistem birokrasi
penerapan hukum kita masih sangat personal, belum melembaga secara
kuat, dan masih sangat tergantung kepada keteladanan pimpinan.
Begitu pula dalam proses penegakan hukum (law enforcement),
aparat penyelidik, penyidik, penuntut, pembela, hakim pemutus, dan
aparatur pemasyarakatan masih bekerja dengan kultur kerja yang
tradisional dan cenderung primitif. Lihatlah bagaimana kasus Bibit dan
Chandra memberi tahu kepada kita semua mengenaki kebobrokan dunia
penegakan hukum kita. Dari kasus ini jelas tergambar betapa buruknya
cara kerja lembaga penyidik di Negara kita. Sebaliknya, lihat pula kasus
terungkapnya kasus istana dalam penjara yang melibatkan Artalyta
Suryani yang menikmati kamar tidur mewah yang jelas tidak adil bagi
narapidana lain yang tidak berpunya. Dengan perkataan lain, kita
menghadapi banyak masalah mulai dari lembaga penyidik sampai ke lembaga
pemasyarakatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar