Selesaikan Akar Masalah Kemacetan
BUKAN baru pertama kali kita mengangkat masalah kemacetan di Jakarta. Namun setiap kali kita menghadapi jawaban yang sama. Kita tidak pernah sungguh-sungguh memecahkan akar persoalannya, tetapi lebih sibuk mencari kambing hitamnya.
Sekarang ini muncul penilaian bahwa penyebab kemacetan Jakarta adalah terlalu banyaknya sepeda motor di jalanan. Oleh karena itu muncul gagasan untuk membatasi sepeda motor yang boleh masuk jalan-jalan protokol di Jakarta.
Tidak cukup dengan menyalahkan motor, kini disalahkan juga industri mobil. Orientasi industri mobil yang hanya kepada penjualan, tidak kepada pemecahan kemacetan, disebut sebagai penyebab kemacetan Jakarta.
Inilah akibatnya kalau cara berpikir kita, cara analisis kita hanya didasarkan oleh analisis sebab-akibat. Lebih ironis lagi kita tidak tahu lagi mana yang akibat dan mana yang penyebab. Ketika akibat dikatakan sebagai sebab, maka pasti alternatif solusinya akan menjadi keliru.
Kalau kita mau duduk tenang dan melakukan analisis secara mendalam, akar kemacetan Jakarta adalah tingginya jumlah penduduk dan tingginya mobilitas di antara mereka. Ketika semua harus keluar rumah untuk bekerja, maka yang mereka butuhkan adalah alat transportasi.
Pertanyaannya adalah apakah moda transportasi yang tersedia untuk Kota Jakarta yang penduduknya lebih dari sembilan juta jiwa itu memadai? Belum lagi jika kita harus memasukkan jutaan orang yang tinggal di pinggiran Jakarta, tetapi mereka harus mencari nafkah di ibu kota negara ini.
Kalau kita menjadi orang kantoran yang tinggal di perumahan di pinggiran Jakarta dan tidak memiliki kendaraan bermotor, maka kita bisa merasakan sulitnya perginya ke kantor. Yang harus pertama kali dilakukan seorang karyawan adalah menggunakan ojek untuk keluar dari kompleks tempat tinggalnya. Setelah itu ia harus menggunakan angkutan kota atau angkot agar bisa mencapai feeder yang lebih besar entah itu Metro Mini atau Kopaja. Baru dari sana seorang pekerja bisa menggunakan bus besar entah itu Bus Kota atau pun Trans Jakarta.
Paling tidak ada empat moda yang harus dipergunakan seorang pekerja untuk mencapai kantornya. Untuk itu paling tidak Rp15.000 harus dikeluarkan untuk sekali jalan seorang pekerja sampai ke kantor. Kalau untuk kembali ke rumahnya, berarti sekitar Rp30.000, ongkos transportasi harus ia keluarkan setiap harinya.
Itu memang konsekuensi yang harus dibayar seorang pekerja. Tetapi pertanyaannya, kalau sekitar 30 persen penduduk Kota Jakarta menggunakan transportasi umum, apakah moda transportasi yang tersedia mampu mengangkut tiga juta penumpang setiap harinya?
Inilah masalah besar yang tidak pernah kita bahas secara benar. Kita tidak pernah memikirkan bagaimana masyarakat harus menunggu di tengah ketidakjelasan moda transportasi yang akan datang. Mereka tidak tahu kapan kendaraan umum yang mereka tunggu itu akan datang. Kalau pun kemudian datang, kendaraan umum itu sudah penuh sesak.
Bolehkah dengan Rp15.000 biaya transportasi yang mereka keluarkan, penumpang menuntut kenyamanan? Itu tentunya sebuah kemewahan. Untuk mendapatkan kendaraan umum yang layak dan pantas membuat kita merasa aman saja, itu sudah terlalu muluk.
Buruknya transportasi umum yang ada di Jakarta itulah yang kemudian menjadi biang kemacetan. Kalau orang kemudian memilih naik motor atau mobil pribadi, itu bukan disebabkan karena memang mereka ingin bergaya. Kalau saja ada transportasi umum yang aman dan nyaman seperti umumnya di kota-kota besar dunia, niscaya orang akan menggunakan kendaraan umum.
Seperti di Jepang misalnya, orang memilih untuk menggunakan kendaraan umum karena semua serba pasti. Mereka bisa tahu kapan kendaraan umum itu akan datang. Mereka tahu bahwa transportasi umum itu aman dan nyaman. Dengan menggunakan transportasi umum, mereka bisa istirahat sebelum sampai ke tujuan. Mereka tidak perlu bingung cari parkir dan bayar parkir yang mahal.
Yang membuat masyarakat mau menggunakan transportasi umum adalah apabila ada kepastian. Dengan adanya kepastian itu, penumpang tidak khawatir untuk terlambat sampai ke kantor. Bagi seorang pegawai kantoran, hal yang paling mereka hindari adalah terlambat sampai ke tempat kerja karena itu berkaitan dengan yang namanya disiplin dan catatan kinerja pegawai.
Jadi lucu kalau kemacetan yang terjadi di Jakarta sekarang kemudian disalahkan kepada masyarakat atau dunia usaha. Kemacetan itu terjadi akibat kegagalan pemerintah dalam menyediakan fasilitas publik yang memadai dan kemampuan untuk membaca kemajuan ekonomi ke depan.
Oleh karena itu kita selalu mengatakan pentingnya pemerintah untuk memiliki wawasan jauh ke depan. Kalau Wakil Presiden Boediono saat membuka International Indonesia Motor Show mengatakan bahwa penjualan mobil ditargetkan mencapai 1 juta unit per tahun, berarti arah pembangunan ditujukan untuk mencapai target tersebut.
Penyediaan panjang jalan yang lebih mencukupi merupakan konsekuensi yang harus dibayar pemerintah ketika menginginkan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Besarnya kebutuhan BBM merupakan sesuatu yang tidak terhindarkan ketika Wapres ingin mendorong penjualan mobil yang begitu besar. Bahkan termasuk di dalamnya konsekuensi untuk menyediakan subsidi tambahan bagi penyediaan BBM itu.
Kalau pemerintah tidak mau terlalu terbebani oleh semua urusan itu, maka pemerintah harus mau menginvestasikan modal bagi pembangunan transportasi umum. Konsekuensi kota metropolitan yang penduduknya lebih sembilan juta adalah moda transportasi harus lebih banyak baik jenis maupun kapasitasnya.
Tidak cukup lagi kita mengandalkan angkot atau bus kota, tetapi harus dengan kendaraan umum yang cepat dan massal, mass rapid transport. Seperti Singapura, Kuala Lumpur, Tokyo dan kota-kota metropolitan lainnya, mereka memiliki kereta api dalam kota, subway, dan juga monorel. Bahkan Bangkok dan New York masih melengkapi dengan transportasi air.
Dengan transportasi yang begitu beragam pun bukan jaminan tidak akan terjadi lagi kemacetan. Namun, penduduk kota memunyai banyak pilihan dalam menjalani kehidupan sehari-harinya. Termasuk juga tentunya bagi turis yang kebetulan datang ke kota tersebut.
Pemerintah kota di negara-negara lain berani melakukan investasi karena ini berkaitan dengan citra kota. Kalau ingin dikatakan sebagai pengelola dari kota yang beradab, maka salah satunya bisa dilihat dari kemampuannya untuk menyediakan sistem transportasi umum yang baik.
Sumber :
http://metrotvnews.com/index.php/metromain/tajuk/2010/07/28/467/Selesaikan-Akar-Masalah-Kemacetan/tajuk
Tidak ada komentar:
Posting Komentar