Pada tahun 1960 Belanda menemui daerah pertambangan tembaga di Papua New Guinea, lalu
3 tahun kemudian Indonesia merebutnya dari koloni Belanda menjadikan sebagai Irian Barat.
Diikuti pada tahun 1966 Freeport menanda tangani kontrak phase 1 (minimal 8.9% komisi)
dengan pemerintah Indonesia untuk mengelolah hasil pertambangan di daerah perdalaman Irian
Barat. Dengan adanya alat teknologi modern, dan tenaga-tenaga ahli yang didatangkan oleh
Freeport berpusat di Amerika, dikemudian haripun selain Tembaga, Perak, mereka berhasil
menemukan tambang “Gunung Emas”, menjadikan Freeport sebagai penghasil tambang emas
keempat terbesar didunia, sejak saat itu terjadi keinginan pemerintah Indonesia untuk membahas
ulang negosiasi penemuan baru terhadap kontrak phase 1.
Kontrak phase ke 2 dilakukan ditahun 1991, dimana Indonesia menuntut komisi ditingkatkan
menjadi 20%, setelah berhasil menanda tangani kontrak baru, yang mengejutkan yaitu 10%
komisi saham tambahan tidak untuk pemerintah Indonesia, akan tetapi diberikan kepada
kronies dari keluarga Cendana yaitu Bakrie Investindo untuk mengelolahnya. Karena lemahnya
lembaga Press Indonesia, bahkan jumlah dana komisi phase pertamapun tidak jelas apakah
penghasilannya untuk kas negara, apakah untuk keluarga Suharto dan anak-anaknya di Swiss
Bank atau masuk ke yayasan-yayasan keluarga Cendana. Menurut data-data statistik pada tahun
2010 umumnya para Koruptor kelas “kakap” rata-rata dihukum hanya 2 tahun, sedangkan
kalau kita melihat hukum dinegara lain seperti Chinese komunis pada pemerintahan Hu Jintao
umumnya para koruptor mendapatkan hukuman mati. Lemahnya situasi hukum, pembredelan
lembaga press Indonesia, dan UU anti korupsi saat itu memang sengaja diciptakan sejak
pemerintahan Suharto karena memungkinkan “win-win situation” untuk para pejabat yang
berada dalam kabinet Suharto dan business TNI untuk melakukan korupsi bagaikan MLM
Pyramid Schemes business.
Kalau kita melihat kembali persetujuan “sweet deal” antara Freeport dan Suharto dilandasi
oleh “political corruption mutual benefits” antara kedua pihak, dan banyaknya pengaruh dari
mantan US Ambasador untuk Indonesia Stepelton Roy dan mantan Menlu Amerika Henry
Kissinger yang dikemudian hari menjadi pemegang saham dan Honorary Director Freeport.
Dalam buku “The trial of Henry Kissinger by Christopher Hitchen” terlihat karakter asli
politisian kelas wahid ini berubah menjadi “political prostitute” kelas dunia ketika Henry
Kissinger menjadi lobbiest terkuat untuk Freeport di Washington, yang mana mantan pejabat
Amerika saat itu telah dibutakan oleh penderitaan dan kemiskinan masyarakat Irian Barat, demi
ambisi politik dan keuntungan pribadinya. Bahkan Suharto saat itu melakukan media cover-up
dengan melarang media lokal dan internasional journalis mengunjungi daerah tambang Timika.
Ketidak adilan terhadap warga setempat menciptakan kelanjutan pemberontakan warga lokal
secara masal dan kritik terhadap pemerintahan pusat, atas aksi “nasionalisisasi milik penduduk
lokal” tanpa ganti rugi yang layak, dan juga atas kurangnya pembangunan infrastrukture baik
jalanan, sekolah, rumah sakit dan sarana ekonomi sosial yang warga lokal perlukan saat itu.
Karena banyaknya kecaman domestik dan Internasional, Freeport kemudian memberikan
tuntutan-tuntutan warga lokal membuat pusat komunitas dan projek perumahan setempat.
Bila kita melihat kembali sebelum Suharto berkuasa, Penanaman Modal Asing pernah dihentikan
oleh Nasionalis Presiden Sukarno, lalu secara tragis diikuti dengan kudeta berdarah pada 30
September 1965, yang dipimpin dan dilakukan oleh Suharto dengan dukungan badan inteligen
dari negara lain yang ingin melindungi investasi modal mereka masing-masing terhadap
Nasionalisasi Modal Asing/penyitaan. Singkatnya kepemimpinan Suharto direstui sebagai
Presiden Indonesia setelah melakukan Kudeta terhadap Presiden Sukarno dengan dukungan
negara-negara asing, sebagai “balas budi” Suharto memberikan jalan dan membuka kembali
Investasi modal asing kepada Freeport dll. Kemudian pada Januari 1967 Indonesia menciptakan
UU Peraturan Investasi Asing, dan mengembalikan seluruh perusahaan asing seperti Goodyear
Tire, Singer Machine, Texaco, dll.
Lima puluh tahun kemudian malam itu di San Francisco suasana dunia politik dan ekonomi
sudah berbeda jauh, globalisasi internet sudah menjadi komunikasi dunia tanpa sensor, Suharto
sudah tiada, Amerika sedang dibayangi oleh resesi berat dan tidak lagi sebagai negara yang satu-
satunya dominan dalam segi Ekonomi. Pertemuan antara Komunitas Indonesia San Francisco
dengan Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal berlangsung pada tanggal 17 February, 2011
di Mark Hopkins InterContinental Hotel dihadiri oleh sekitar 50 pengunjung berlangsung dari
19:00 – 21:00.
Ketua BKPM Gita Wirawan berhasil meningkatkan penanaman modal di Indonesia dengan
melakukan kunjungan ke negara-negara Industri yaitu menghasilkan investasi modal berjumlah
sekitar US$150 Billion, (domestik US$50 billion dan investasi asing US$100 billion).
Diperkirakan India akan menanamkam modal asing US$15 billion, sedangkan Hyundai Motor,
Posco Steel, Hankook Tire, Lottee Market dan beberapa perusahaan berasal dari Korea Selatan
sekitar US$15 billion, Jepang sebagai investor terbesar di Indonesia akan meningkatkan menjadi
US$59 billion, Perancis US$4 billion, sedangkan Russia akan membuka tambang Nickels di
Maluku Utara dengan modal sekitar US$3 billion, selebihnya Singapore akan membuka pabrik
makanan, telekomunikasi, dan transportasi. Projek ini diperkirakan akan siap berjalan dalam
waktu 3-5 tahun mendatang.
Di Indonesia, sebelum melakukan perjalanan tour dunia, Gita Wirawan mendapatkan beberapa
kritikan tajam seperti perdebatan apakah perlunya Penanaman Modal Asing di Indonesia
yang diasosiasikan dengan NeoLibs vs Ekonomi Kerakyatan yang menggunakan tenaga ahli
dari Indonesia, dan kecaman melalui internet dengan mengatas namakan seluruh karyawan
BKPM, yang mempertanyakan kebijaksanaan dan cara kepemimpinannya, seperti kewajiban
meningkatkan English Toefl score bagi seluruh pegawai BKPM. Kalau dianalisa ulang,
mungkinkah meningkatnya investasi asing memang sangat berkaitan dengan kemampuan BKPM
staff berkomunikasi secara cepat, fasih dan professional dengan para peminat investor.
Minimalnya “Indonesian road infrastructures” berkaitan dengan slogan “Build the road,
business will come” telah diterjemahkan menjadi sebuah keharusan utama bagi Indonesia untuk
mengundang PMA(Penanaman Modal Asing) dimasa depan. Gita Wirawan mengatakan pada
2014 Indonesia akan meningkatkan sarana jalanan untuk dilaksanakan dalam beberapa tahun.
Tentu peningkatan hukum dan keamanan yang baik akan menjadikan Indonesia lebih menarik
bagi Investor asing terutama kedalam kategori Manufacturing, bila Indonesia ingin bersaing
secara global terutama menghadapi China, India, Vietnam dan negara lain dimasa depan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar